Desa Sukawangi di Bogor Diklaim Diagunkan ke Bank: Simak Penjelasan Lengkap Sang Kepala Desa
Diskusi Bogor– Sebuah isu mengejutkan muncul ke permukaan publik: sejumlah desa di Indonesia, termasuk Desa Sukawangi di Kabupaten Bogor, Jawa Barat, disebut-sebut telah dijadikan agunan atau jaminan utang sejak puluhan tahun lalu, tepatnya era 1980-an. Klaim yang terdengar seperti fiksi ini memicu kecemasan dan tanda tanya besar. Benarkah aset berharga milik rakyat, yaitu tanah dan desanya, bisa begitu saja digadaikan?
Buka Suara Sang Pemimpin Desa
Menanggapi viralnya isu tersebut, Kepala Desa Sukawangi, Budiyanto, memberikan penjelasan terang benderang. Dalam keterangannya pada Rabu (17/9/2025), Budiyanto menyangkal bahwa desanya yang diagunkan. Ia mengklarifikasi bahwa pembahasan mengenai desa yang diagunkan kemungkinan besar berasal dari desa lain, yang turut dibahas dalam pertemuannya dengan Menteri Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal (Mendes PDT), Yandri Susanto, di Jakarta sehari sebelumnya.
“Kalau dianggunkan sebenarnya tidak ada. Kalau yang diagunkan oleh pembahasan Pak Menteri kemarin ya, kemungkinan kita kan kemarin ada tiga desa selain Desa Sukawangi. Nah, yang dianggunkan itu bisa jadi ada di desa lain yang diklaim sekarang sama BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia),” tegas Budiyanto.

Ia mengaku tidak mengetahui detail persoalan tersebut karena masalah agunan desa bukan berada di wilayah administrasinya. “Kemungkinan ya, nanti bisa dikonfirmasi (lagi),” tambahnya, menyerahkan penjelasan lebih lanjut kepada pihak berwenang.
Dibalik Denyut Sukawangi: Dua Konflik Besar yang Menghimpit
Meski terbebas dari isu pengagunan, bukan berarti Desa Sukawangi hidup tenang-tenang saja. Kepala Desa Budiyanto mengungkapkan bahwa desanya justru sedang menghadapi dua konflik agraria yang sangat pelik dan berpotensi merampas hak-hak dasar warga. Konflik ini bukan tentang utang di masa lalu, tetapi tentang pengakuan dan kepastian hukum atas tanah yang mereka tinggali dan garap turun-temurun.
1. Konflik dengan Kementerian Kehutanan: Warga Dijadikan Tersangka di Atas Tanah Leluhur
Konflik pertama dan paling mencekam adalah dengan Kementerian Kehutanan. Desa Sukawangi diklaim masuk ke dalam kawasan hutan negara, yaitu Hutan Hambalang Barat dan Hambalang Timur, dengan total luasan mencapai 8.900 hektar berdasarkan Surat Keputusan Kementerian Kehutanan Tahun 2014.
Implikasi dari klaim ini sangat serius. Status “kawasan hutan” membuat aktivitas warga yang telah puluhan tahun menetap dianggap ilegal. Budiyanto dengan prihatin menyampaikan, “Jadi bunyinya barang siapa yang menggunakan, memakai dan menduduki tanpa izin kawasan hutan, warga Sukawangi sudah ditetapkan menjadi 4 tersangka.”
Penetapan warga sebagai tersangka ini memicu ketakutan dan ketidakadilan yang mendalam. Mereka merasa dikriminalisasi di atas tanah yang justru mereka diami jauh sebelum SK tersebut terbit. “Nah ini alurnya mau kemana dengan proses ini oleh Gakkum (Penegakan Hukum Kementerian)?” tanya Budiyanto, yang mencerminkan kebingungan dan keinginan untuk mencari keadilan bagi warganya.
2. Konflik dengan Perusahaan Swasta: 500 Hektar Tanah Warga ‘Hilang’ Digarap Perusahaan
Konflik kedua tak kalah memilahkan. Persoalan ini terkuak saat pemerintah menjalankan program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) pada 2022, sebuah program yang seharusnya memberikan kepastian hukum melalui sertifikat tanah.
Dari proses tersebut, teridentifikasi 120 bidang tanah milik warga tidak bisa terbit sertifikatnya. Setelah dilakukan investigasi dan evaluasi mendalam oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN), ditemukan fakta yang mencengangkan: tanah-tanah seluas kurang lebih 500 hektar itu ternyata sudah dikuasai oleh sebuah perusahaan swasta.
“Setelah kemarin dievaluasi, diajukan PTSL bahwa warga itu tidak keluar sertifikat dan setelah dicek BPN, tanah warga yang tidak keluar sertifikat itu sudah dikuasai salah satu perusahaan,” pungkas Budiyanto dengan nada kesal.
Ini berarti, hak warga atas tanah mereka secara de facto telah dirampas. Perusahaan tersebut telah menguasai lahan yang seharusnya menjadi milik dan sumber penghidupan warga, menghambat mereka untuk mendapatkan sertifikat sebagai bukti kepemilikan yang sah.
Apa Makna di Balik Semua Ini?
Kisah Desa Sukawangi adalah potret nyata dari kompleksnya persoalan agraria di Indonesia. Isu “desa diagunkan” mungkin saja tidak benar, tetapi ia berhasil membuka kotak Pandora tentang masalah yang lebih substantif: sengketa tanah antara masyarakat, negara, dan korporasi.
Dua konflik yang dihadapi Sukawangi merepresentasikan dua wajah perampasan tanah:
-
Perampasan oleh Negara (State Land Grabbing): melalui perluasan kawasan hutan tanpa mempertimbangkan sejarah dan keberadaan masyarakat lokal, yang berujung pada kriminalisasi.
-
Perampasan oleh Korporasi (Corporate Land Grabbing): melalui penguasaan tanah secara sepihak yang menghilangkan akses dan hak hukum masyarakat.
Jalan Panjang Menuju Keadilan
Desa Sukawangi membutuhkan lebih dari sekadar klarifikasi bahwa mereka tidak diagunkan. Mereka membutuhkan keadilan agraria. Penyelesaiannya memerlukan:
-
Dialog Multipik yang Intensif antara pemerintah desa, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), BPN, dan perusahaan terkait.
-
Peninjauan Ulang SK Kawasan Hutan dengan melibatkan data historis dan pengakuan terhadap hak-hak masyarakat adat/lokal.
-
Penegakan Hukum yang Berpihak pada Rakyat dalam sengketa dengan perusahaan, termasuk pencabutan izin jika terbukti melakukan perampasan tanah.
-
Intervensi Serius dari Pemerintah Pusat melalui Kementerian Desa, ATR/BPN, dan Kemendagri untuk memastikan konflik ini tidak berlarut dan menghormati hak-hak warga.
Klarifikasi Budiyanto telah meredakan kecemasan satu isu, tetapi justru mengungkap luka yang lebih dalam. Kini, bola ada di pihak pemerintah untuk membuktikan bahwa keberpihakan pada rakyat kecil bukan sekadar wacana, tetapi aksi nyata yang mampu mengembalikan tanah, harga diri, dan masa depan warga Desa Sukawangi.





